Cek Toko Sebelah 2: Sebuah Ulasan
Sebagai penonton Cek Toko Sebelah yang pertama, rasanya memutuskan untuk nonton sekuelnya nggak perlu melewati proses pikir yang panjang.
Apalagi awal bulan Desember lalu, sempat terpapar serial Cek Toko Sebelah season ketiga. Meskipun belum kelar nontonnya, karena keburu motong pengeluaran untuk berlangganan Prime Video.
Ekspektasi tentu ada. Saya datang ingin menonton drama komedi tentang keluarga yang berkembang, namun tetap grounded dan relate dengan apa yang saya rasakan.
Maklum. Konflik domestik dalam hubungan keluarga pasti ada. Intensitasnya aja yang berbeda. Kebetulan aja saya yang cukup intens. Jadi tergerak deh nonton di hari Minggu, 25 Desember 2022.
Sebelum nonton, sempat juga melihat trailer-nya. Reaksi saya kala itu, “wah, kayaknya bakal berat di romance, nih.” Apalagi soal promo video pendek di media sosial yang menangkap adegan Natalie dan Erwin yang duduk sambil nanya soal status hubungan pemeran utama perempuan di film ini.
Jiwa hopeless romantic yang sengaja dikembangkan dari SMP langsung menggebu. Demi mendapatkan inspirasi bagaimana bisa menjalani hubungan percintaan dengan ringan tapi serius.
Benar saja, pas film dimulai, orang-orang yang punya jiwa kayak saya, besar kemungkinan akan terpengaruh haru. Mengutuk hidup yang banyak disesali karena nggak berani ngomong secara langsung.
Hanya mengharapkan orang lain untuk mengutarakan dengan sendirinya. Menyedihkan memang.
Perasaan haru kurang lebih menjadi emosi yang saya rasakan dalam film ini. Banyak adegan yang cukup mewakilkan apa yang saya rasakan. Tentu, semuanya datang sebagai fragmen dalam film Cek Toko Sebelah 2 ini.
Kalau semua rasa itu dimuat dari awal sampe akhir, ya meledak pasti saya. Namun, karena fragmentasi tersebut juga, jadinya saya bisa mengolah emosi yang ada dan sedikit menganalisis kenapa bisa seperti itu ya.
Oh iya, perasaan tersebut nggak hanya datang dari dinamika Erwin dan Natalie aja kayak di awal. Erwin, Yohan, dan Koh Afuk juga punya momen bersinarnya sendiri.
Namanya juga film tentang keluarga, jadi mereka pun tetap jadi jangkar yang kuat di film Cek Toko Sebelah 2. Dinamika kehidupan rumah tangga Ayu dan Yohan pun bisa membantu kamu, terutama laki-laki, memiliki sudut pandang yang lebih baik terhadap pilihan hidup bersama.
Jawaban dari pertanyaan tersebut juga secara langsung dibantu ungkap oleh resolusi dalam film-nya. Keputusan-keputusan aneh yang datang dari keinginan, tanpa memikirkan orang lain. Sudut pandang kita terhadap adanya perbedaan. Hidup di kawasan metropolitan dengan kemampuan finansial pas-pasan. Malu karena cuma punya diri sendiri untuk menjadi penawaran dalam berteman dan menjalani hubungan romantis.
Setidaknya hal tersebut yang terbesit dalam pikiran saya dan sungguh terjawab dengan cara yang sederhana.
Sangat sederhana sampai-sampai saya dan mungkin kamu pun lupa. Bahwa, kita hanya bisa berusaha. Sebaik mungkin, semaksimal mungkin. Biarkan orang lain menerima kita apa adanya dengan segala bentuk yang ada.
Biarkan mereka juga menunjukkan respons-nya terhadap kita dengan kejujuran. Suka dan duka. Sederhana. Kalau memang sudah nyungsep, ya tertawakan aja kegagalan itu sambil putar otak bagaimana caranya untuk bangkit.
Selepas nonton, saya sempat bilang, kalau film ini punya sense hopeless romantic, tapi sangat kuat menjangkau skala yang lebih besar atau global. Dengan kuantitas hopelessness yang mungkin lebih dari 3 trilyun jumlahnya namun berimbang dengan sudut pandang romantis yang berbicara mengenai perjuangan dan pengorbanan.
Kalau kamu tertarik, tonton saja. Nggak nyesel. Buat saya. Kalau kamu nyesel, jangan salahkan saya.